Mahkota untuk Emak - Ambarawa OnLine
Headlines News :

Indahnya Kebersamaan

Media pemersatu warga Ambarawa lintas Politic, Ekonomi, Sosial, Budaya Pertahanan dan Keamanan.

Mutiara Bangsa

.

Popular Post

Pasarpon Ambarawa adalah pasar hewan terbesar dan terlengkap di Indonesia. Kunjungi www.pasarpon.com , Sudah dapat diakses Via Facebook.
Home » » Mahkota untuk Emak

Mahkota untuk Emak

Written By Faris Blog on Selasa, 16 Oktober 2012 | 05.29




Yang mengandungmu dalam kepayahan yang  bertambah-tambah…
“Astaghfirullahal’adzimm…” air mata bercucuran dari mata coklat milik Asma. Ia satu-satunya yang menangis sesunggukan di ruangan B-6 ketika Pak Rahmat, dosen Ilmu Pendidikan, menjabarkan tentang nasihat Lukman kepada anaknya.
Khamalathu ummuhu wakhnan ‘alaa wakhnin….
Asma tersedu-sedan. Ia ingat emaknya. Bahunya terguncang, air matanya semakin deras, membasahi jilbab ungu yang menjuntai di kepalanya.
Bukan.
Bukan karena emak telah tiada, bukan pula karena emak tengah sakit, emak sehat-sehat saja di rumah. Namun, Asma tetap tersedu-sedan hingga Pak Rahmat selesai menjabarkannya.
“Asma,” sentuhan lembut mendarat di pundaknya, Asma menoleh, tersenyum pada Salma.
“Kamu kenapa?”
Asma menggeleng, kembali menelanjangi wajah Pak Rahmat, mengabaikan tatapan tanya Salma. Bola mata coklatnya terlihat fokus pada gerakan bibir yang berkumis tipis. Jika sudah begini, Asma pantang diganggu.
Wa fishooluhu fii aamaini,”
Tes!
Air mata kembali menetes.
“Menyapihmu dalam dua tahun, lantas apa yang bias kita lakukan untuk ibu?” Pak Rahmat mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mahasiswanya bungkam. Ia bersitatap degan mata Asma yang basah, “Anisykurlii waliwalidayk, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.”
Pak Rahmat tersenyum, wajah bersihnya terlihat semakin merekah. Ia menganggukkan kepalanya kepada Asma. Asma bals mengangguk, tersenyum penuh makna. Di hatinya, hati yang begitu mencintai emaknya, ia mengukir sebuah tekad yang membaja.
***
“Se-ben-tar, ya, a-ku di-pang-gil i-bu. Su-ruh be-li gu-la.” Salma menyela pembicaraan Asma ketika mereka asyik berbincang tentang rumah pelangi, sanggar impian mereka, di kamar Salma.
“Iya, Buuuuu.”
Salma menghilang dari balik pintu. Asma termenung.
Bagaimana mereka bisa menjawab panggilan orang yang tak terlihat di depan?
Emak. Ah, iya. Emak bagaimana di rumah? Emak harus mencolek bahuku tatkala membutuhkan bantuanku.
Asma merebahkan diri di kasur Salma, memeluk guling bermotif kupu-kupu, memandang sprei berwarna ungu dengan tatapan berembun.
Emak tak bisa menyuruhku hanya dengan memanggil namaku, emak harus lari terbirit-birit ke kamar hanya untuk menyuruhku mengiris bumbu. Mak, aku ingin membuatmu tersenyum sekali, saja. Aku tak ingin melihat air matamu tatkala aku terpuruk karena hantu listening dan cemoohan orang itu.
Tes!
Air mata menetes. Asma larut dalam bayangan sang emak.
Pluk!
Tangan Salma menyentuh punggung Asma, Asma menoleh dengan tatapan hampa.
“Ka-mu ke-na-pa?” Salma menelisik mata Asma yang telah berembun.
“Emak, emak, Ma…” Asma tak mampu lagi menahan air matanya. Salma memeluk Asma erat, membiarkan sahabatnya meluahkan tangis di punggungnya seraya memanjatkan doa-doa pada Robbuna.
“Aku tak bisa menjawab panggilan emak seperti kamu menjawab panggilan ibu tadi,” Asma bercerita dengan tersedu-sedan. “emak harus ke kamar, mencolek punggungku hanya untuk meminta tolong atau menyuruhku makan.”
Salma kembali memeluk Asma, ia tahu, Asma begitu sensitive dengan urusan telinga.
“Li-hat a-ku,” Salma menatap wajah Asma tatkala ia melepas pelukannya, “ka-mu pas-ti bi-sa nge-ba-ha-gi-a-in e-mak. Pas-ti. Pas-ti Rob-bu-na te-lah me-nye-di-a-kan ja-lan la-in un-tuk-mu.”
Salma tersenyum. Kedua gadis berjilbab itu kembali berpelukan erat.
“Ke masjid, sholat.” Asma berbisik pada Salma. Salma mengangguk, mengambil mukena di lemari hijau pupus. Mereka berjalanan beriringan menuju masjid kampus, rumah Salma tak jauh dari kampus.
“Ia bisa memberikan mahkota untuk kedua orang tuanya.”
“Hah? Apa, Mbak?” Asma mendekati wanita berjilbab merah jambu, ia tak mengenalnya, namun ketika ia membaca mulut yang membentuk ke-du-a o-rang tu-a, ia segera mendekat dengan mukena yang belum sempurna lepas.
“I-a bi-sa mem-be-ri-kan mah-ko-ta un-tuk ke-du-a o-rang tu-a-nya”
Asma menelanjangi wajah wanita berjilbab merah jambu itu dengan mata yang berkedip.
“Ia? Siapa?” Asma bertanya lantang, mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari mereka yang tengah asyik bercengkerama di masjid.
“Peng-ha-fal Al-Qur’an.” Wanita berjilbab merah jambu tersenyum.
“Benarkah?” mata Asma bersinar, menyiratkan harapan yang membumbung.
Wanita itu mengangguk, Asma menatap mbak-mbak yang duduk melingkar dengan senyum merekah indah. Mereka tersenyum pada Asma. Senyum yang indah, yang menyiram bibit-bibit harapan yang tertanam pada hati Asma.
Mungkin ini jalanku, jalan untuk membahagianmu, emak…
***
Aaa, aalamiin!” Asma tergagap, wajahnya pias bercucuran keringat.
“Bukan, Nduk.” Seorang lelaki paruh baya terlihat mengambil nafas berat, “’aalamiin.”
Aaa, ngaalamin, Bah?” mata Asma mulai berembun. Sudah dua jam ia berada di langgar bersama abah Muh, guru mengaji yang masih saudara kakeknya.
’Aalamiin. ‘Aaa. Keluar dari sini.” abah menunjuk pangkal tenggorokan seraya mengucapkan lafadz ‘ain, abjad ke delapan belas pada huruf hijaiyah setelah dzo.
Ngaalamiin, Bah?”
Abah kembali menggeleng. Asma pucat. Wajahnya tersirat keputusasaan. Abah kembali mengucapkan lafadz dengan perlahan-lahan. Asma menelanjangi bibir abah dengan kening mengkerut-kerut.
Ngaalamiin.”
“Bukan, Nduk, “ Abah berusaha tersenyum, membenarkan letak peci yang menghiasai kepalanya. “Besuk lagi. Sekarang istirahat, sudah malam.”
Asma membuntuti abah keluar langgar. Matanya berkaca-kaca. Ia berlari tatkala abah Muh telah masuk ke rumah, rumahnya persis di belakang rumah abah Muh.
Bruk!
Asma membanting tubuhnya di dipan, tangannya mencari-cari diary ungu yang tergeletak di atas bantal, Lantas menggoreskan penanya, meluahkan sesak yang menggelegak.
Mahkota itu, apakah bisa kusampirkan di atas kepalamu, Emak? Sementara abah Muh mengharuskanku melafadzkan huruf demi huruf dengan sempurna sebelum aku menghafalkan surat cinta Robbuna.
Apakah aku harus mundur? Mengubur dalam-dalam mimpi yang telah kurajut. Mencukupkan diri hanya dengan membaca surat Robbuna dengan lafadz yang entah… ah, apakah tak ada keringanan untukku? Untuk aku yang tak bisa mendengar dengan sempurna.
Duhai Robbuna, apakah nikmat mahkota dari-Mu hanya untuk mereka yang memiliki anak sempurna?
Asma sesak. Sangat sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Ia meraih hanphone hitamnya, mengetik pesan beriring deraian air mata untuk kakak di pulau seberang sana.

Apakah aku bisa menyampirkan mahkota di kepala emak, Kak?

Asma menatap langit-langit, memutar kembali memori-memori di otak.
Ia teringat tatkala tengah antre bubur pagi itu, di pagi yang dingin di Lereng Merbabu.
Wis budheg, gedhe angel, Makne pas meteng loro-loronan!” wanita yang telah beruban itu bercerita dengan menggebu-gebu, diiringi gemuruh tawa dari ibu-ibu yang tengah merubungi warung bubur.
Asma terkesiap. Dirinyakah yang dibicarakan? Asma sedari tadi menelanjangi mulut wanita tua itu dengan tatapan tajam, ia membaca gerakan bibir dengan cermat. Matanya mengembun, ia tahu, tak banyak orang yang mengerti jika ia mampu membaca bibir.
“Mak, waktu hamil Asma, Mak sakit-sakitan, ya?” Asma bertanya dengan lirih tatkala ia menjuntai manja di pangkuan emak.
Emak menggeleng, ia tersenyum. Asma kecewa, keinginan untuk mengetahui penderitaan emak tak terpenuhi.
Ah, aku bisa tanya bapak.
“Sa-at ha-mil ka-mu, e-mak nggak bi-sa nga-pa nga-pa-in.” bapak akhirnya menjawab Asma yang terus memaksa, “e-mak ha-nya bi-sa ti-duran, nyu-ci e-mak nggak ku-at.”
Asma mengahpus air matanya yang menderas.
Emak, betapa!
“e-mak ti-ap mingg-gu ha-rus pe-rik-sa ke bi-dan. Sa-at i-tu ba-pak be-lum pu-nya mo-tor, ba-pak dan e-mak ngon-thel sam-pai pus-kes-mas.” Bapk merubah posisi duduknya, mengelus-elus jilbab Asma. “ta-pi e-mak sa-yang Nduk, e-mak nggak per-nah nge-luh.”
Asma tersedu-sedan di pelukan bapak. Ia segera menghapus air matanya. Ia tak mau air matanya mengaburkan gerakan mulut bapak.
“Jadi yang dikatakan orang-orang itu benar, Pak?” parau, Asma memberanikan diri bertanya.
Bapak hanya tersenyum, menatap mata Asma dengan tatapan penuh cinta. “Ta-pi, ba-pak sa-ma e-mak ya-kin, Nduk ba-kal suk-ses, bang-ga-in ba-pak dan e-mak.”
Asma luruh dalam pelukan bapak, mengirim berlembar-lembar doa di tengah deraian air mata. Membayangkan perjuangan emak tatkala harus membonceng bapak melewati jalan menuju puskesmas, dan tentu, jalan yang belum diaspal seperti saat ini.
Drrrt, rrrt. Drrrttt.
Asma terkesiap, tersadar dari lamunannya yang panjang. Ia meraih handphonenya yang bergetar. Pesan dari Kak Zahwa.
Pasti, sayang. Kk bilang ade adalah berlian. Kenapa? Tajwid yang masih salah? Ditekuni, sayang. Kakak yakin ade bias menyampirkan mahkota pada kepala emak. Doa kk dari sini.
Andai kau dekat di sini, Kak… Adik kangen sama kakak, ah, kakak sibuk dengan keluarga disana.
Asma tertidur, tidur dengan mimpi indahnya menghafalkan surat cinta Robbuna.
***
“Nga.. ngaaa” Asma mengambil nafas dalam-dalam, “ngaaa.. ngaa… ‘aalamiin, Bah?” Asma mencoba melafadzkan ‘ain ketika ba’da shubuh yang dingin menggigil.
Abah tersenyum, matanya berbinar kebanggaan.
“ ‘aalamiiin. Benar, ya, Bah? Asma bias kan, Bah?”
Abah mengangguk. Asma terlihat sumringah, wajahnya terpancar kelegaan yang teramat sangat. Ia melihat mimpinya sangat dekat di pelupuk mata.
Selangkah lagi aku bias menghafalkan surat cinta-Mu, ya Robb.
“Iya, Nduk, mulai menghafal, ya. Dimulai dari Al-Baqarah, kalau kuat satu hari satu pojokan,” abah meletakkan Al-Qur’annya di dampar, uap terlihat keluar dari mulutnya” kalau tidak, tiga hari satu pojo0kan. Yang penting setiap ba’da sholat nderes.”
Asma mengangguk bahagia. Matahari terbit dengan cahayanya yang merekah merah, mengiringi mimpi Asma yang akan mewujud nyata.

-TAMAT-
Mustika Ungu
26 April 2012
Ya Robb, lipat gandakan setiap keringat ibu dan bapak,
seperti benih padi yang tumbuh beberapa batang,
yang setiap batangnya tumbuh beratus bulir.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jalan baru (JB)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ambarawa OnLine - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya