Yang mengandungmu dalam kepayahan yang bertambah-tambah…
“Astaghfirullahal’adzimm…”
air mata bercucuran dari mata coklat milik Asma. Ia satu-satunya yang menangis
sesunggukan di ruangan B-6 ketika Pak Rahmat, dosen Ilmu Pendidikan, menjabarkan
tentang nasihat Lukman kepada anaknya.
“Khamalathu ummuhu wakhnan ‘alaa wakhnin….”
Asma
tersedu-sedan. Ia ingat emaknya. Bahunya terguncang, air matanya semakin deras,
membasahi jilbab ungu yang menjuntai di kepalanya.
Bukan.
Bukan karena
emak telah tiada, bukan pula karena emak tengah sakit, emak sehat-sehat saja di
rumah. Namun, Asma tetap tersedu-sedan hingga Pak Rahmat selesai
menjabarkannya.
“Asma,”
sentuhan lembut mendarat di pundaknya, Asma menoleh, tersenyum pada Salma.
“Kamu kenapa?”
Asma menggeleng,
kembali menelanjangi wajah Pak Rahmat, mengabaikan tatapan tanya Salma. Bola
mata coklatnya terlihat fokus pada gerakan bibir yang berkumis tipis. Jika
sudah begini, Asma pantang diganggu.
“Wa fishooluhu fii aamaini,”
Tes!
Air mata
kembali menetes.
“Menyapihmu
dalam dua tahun, lantas apa yang bias kita lakukan untuk ibu?” Pak Rahmat
mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mahasiswanya bungkam. Ia bersitatap
degan mata Asma yang basah, “Anisykurlii
waliwalidayk, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.”
Pak Rahmat
tersenyum, wajah bersihnya terlihat semakin merekah. Ia menganggukkan kepalanya
kepada Asma. Asma bals mengangguk, tersenyum penuh makna. Di hatinya, hati yang
begitu mencintai emaknya, ia mengukir sebuah tekad yang membaja.
***
“Se-ben-tar,
ya, a-ku di-pang-gil i-bu. Su-ruh be-li gu-la.” Salma menyela pembicaraan Asma
ketika mereka asyik berbincang tentang rumah pelangi, sanggar impian mereka, di
kamar Salma.
“Iya, Buuuuu.”
Salma
menghilang dari balik pintu. Asma termenung.
Bagaimana mereka bisa menjawab panggilan
orang yang tak terlihat di depan?
Emak. Ah, iya. Emak bagaimana di rumah? Emak
harus mencolek bahuku tatkala membutuhkan bantuanku.
Asma merebahkan
diri di kasur Salma, memeluk guling bermotif kupu-kupu, memandang sprei
berwarna ungu dengan tatapan berembun.
Emak tak bisa menyuruhku hanya dengan
memanggil namaku, emak harus lari terbirit-birit ke kamar hanya untuk
menyuruhku mengiris bumbu. Mak, aku ingin membuatmu tersenyum sekali, saja. Aku
tak ingin melihat air matamu tatkala aku terpuruk karena hantu listening dan
cemoohan orang itu.
Tes!
Air mata
menetes. Asma larut dalam bayangan sang emak.
Pluk!
Tangan Salma
menyentuh punggung Asma, Asma menoleh dengan tatapan hampa.
“Ka-mu
ke-na-pa?” Salma menelisik mata Asma yang telah berembun.
“Emak, emak,
Ma…” Asma tak mampu lagi menahan air matanya. Salma memeluk Asma erat,
membiarkan sahabatnya meluahkan tangis di punggungnya seraya memanjatkan
doa-doa pada Robbuna.
“Aku tak bisa
menjawab panggilan emak seperti kamu menjawab panggilan ibu tadi,” Asma
bercerita dengan tersedu-sedan. “emak harus ke kamar, mencolek punggungku hanya
untuk meminta tolong atau menyuruhku makan.”
Salma kembali
memeluk Asma, ia tahu, Asma begitu sensitive dengan urusan telinga.
“Li-hat a-ku,”
Salma menatap wajah Asma tatkala ia melepas pelukannya, “ka-mu pas-ti bi-sa
nge-ba-ha-gi-a-in e-mak. Pas-ti. Pas-ti Rob-bu-na te-lah me-nye-di-a-kan ja-lan
la-in un-tuk-mu.”
Salma
tersenyum. Kedua gadis berjilbab itu kembali berpelukan erat.
“Ke masjid, sholat.”
Asma berbisik pada Salma. Salma mengangguk, mengambil mukena di lemari hijau
pupus. Mereka berjalanan beriringan menuju masjid kampus, rumah Salma tak jauh
dari kampus.
“Ia bisa
memberikan mahkota untuk kedua orang tuanya.”
“Hah? Apa,
Mbak?” Asma mendekati wanita berjilbab merah jambu, ia tak mengenalnya, namun
ketika ia membaca mulut yang membentuk ke-du-a o-rang tu-a, ia segera mendekat
dengan mukena yang belum sempurna lepas.
“I-a bi-sa
mem-be-ri-kan mah-ko-ta un-tuk ke-du-a o-rang tu-a-nya”
Asma
menelanjangi wajah wanita berjilbab merah jambu itu dengan mata yang berkedip.
“Ia? Siapa?”
Asma bertanya lantang, mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari mereka yang
tengah asyik bercengkerama di masjid.
“Peng-ha-fal
Al-Qur’an.” Wanita berjilbab merah jambu tersenyum.
“Benarkah?”
mata Asma bersinar, menyiratkan harapan yang membumbung.
Wanita itu
mengangguk, Asma menatap mbak-mbak yang duduk melingkar dengan senyum merekah
indah. Mereka tersenyum pada Asma. Senyum yang indah, yang menyiram bibit-bibit
harapan yang tertanam pada hati Asma.
Mungkin ini jalanku, jalan untuk
membahagianmu, emak…
***
“Aaa, aalamiin!” Asma tergagap, wajahnya
pias bercucuran keringat.
“Bukan, Nduk.”
Seorang lelaki paruh baya terlihat mengambil nafas berat, “’aalamiin.”
“Aaa, ngaalamin, Bah?” mata Asma mulai
berembun. Sudah dua jam ia berada di langgar bersama abah Muh, guru mengaji
yang masih saudara kakeknya.
“’Aalamiin. ‘Aaa. Keluar dari sini.” abah
menunjuk pangkal tenggorokan seraya mengucapkan lafadz ‘ain, abjad ke delapan belas pada huruf hijaiyah setelah dzo.
“Ngaalamiin, Bah?”
Abah kembali
menggeleng. Asma pucat. Wajahnya tersirat keputusasaan. Abah kembali
mengucapkan lafadz dengan perlahan-lahan. Asma menelanjangi bibir abah dengan
kening mengkerut-kerut.
“Ngaalamiin.”
“Bukan, Nduk, “
Abah berusaha tersenyum, membenarkan letak peci yang menghiasai kepalanya.
“Besuk lagi. Sekarang istirahat, sudah malam.”
Asma membuntuti
abah keluar langgar. Matanya berkaca-kaca. Ia berlari tatkala abah Muh telah
masuk ke rumah, rumahnya persis di belakang rumah abah Muh.
Bruk!
Asma membanting
tubuhnya di dipan, tangannya mencari-cari diary ungu yang tergeletak di atas
bantal, Lantas menggoreskan penanya, meluahkan sesak yang menggelegak.
Mahkota itu, apakah bisa kusampirkan di atas
kepalamu, Emak? Sementara abah Muh mengharuskanku melafadzkan huruf demi huruf
dengan sempurna sebelum aku menghafalkan surat cinta Robbuna.
Apakah aku harus mundur? Mengubur
dalam-dalam mimpi yang telah kurajut. Mencukupkan diri hanya dengan membaca surat Robbuna dengan
lafadz yang entah… ah, apakah tak ada keringanan untukku? Untuk aku yang tak
bisa mendengar dengan sempurna.
Duhai Robbuna, apakah nikmat mahkota dari-Mu
hanya untuk mereka yang memiliki anak sempurna?
Asma sesak.
Sangat sesak. Nafasnya tersengal-sengal. Ia meraih hanphone hitamnya, mengetik
pesan beriring deraian air mata untuk kakak di pulau seberang sana .
Apakah aku bisa menyampirkan
mahkota di kepala emak, Kak?
Asma menatap
langit-langit, memutar kembali memori-memori di otak.
Ia teringat
tatkala tengah antre bubur pagi itu, di pagi yang dingin di Lereng Merbabu.
“Wis budheg, gedhe angel, Makne pas meteng
loro-loronan!” wanita yang telah beruban itu bercerita dengan
menggebu-gebu, diiringi gemuruh tawa dari ibu-ibu yang tengah merubungi warung
bubur.
Asma terkesiap.
Dirinyakah yang dibicarakan? Asma sedari tadi menelanjangi mulut wanita tua itu
dengan tatapan tajam, ia membaca gerakan bibir dengan cermat. Matanya
mengembun, ia tahu, tak banyak orang yang mengerti jika ia mampu membaca bibir.
“Mak, waktu
hamil Asma, Mak sakit-sakitan, ya?” Asma bertanya dengan lirih tatkala ia
menjuntai manja di pangkuan emak.
Emak
menggeleng, ia tersenyum. Asma kecewa, keinginan untuk mengetahui penderitaan
emak tak terpenuhi.
Ah, aku bisa tanya bapak.
“Sa-at ha-mil
ka-mu, e-mak nggak bi-sa nga-pa nga-pa-in.” bapak akhirnya menjawab Asma yang
terus memaksa, “e-mak ha-nya bi-sa ti-duran, nyu-ci e-mak nggak ku-at.”
Asma mengahpus
air matanya yang menderas.
Emak, betapa!
“e-mak ti-ap
mingg-gu ha-rus pe-rik-sa ke bi-dan. Sa-at i-tu ba-pak be-lum pu-nya mo-tor,
ba-pak dan e-mak ngon-thel sam-pai pus-kes-mas.” Bapk merubah posisi duduknya,
mengelus-elus jilbab Asma. “ta-pi e-mak sa-yang Nduk, e-mak nggak per-nah
nge-luh.”
Asma
tersedu-sedan di pelukan bapak. Ia segera menghapus air matanya. Ia tak mau air
matanya mengaburkan gerakan mulut bapak.
“Jadi yang
dikatakan orang-orang itu benar, Pak?” parau, Asma memberanikan diri bertanya.
Bapak hanya
tersenyum, menatap mata Asma dengan tatapan penuh cinta. “Ta-pi, ba-pak sa-ma
e-mak ya-kin, Nduk ba-kal suk-ses, bang-ga-in ba-pak dan e-mak.”
Asma luruh
dalam pelukan bapak, mengirim berlembar-lembar doa di tengah deraian air mata.
Membayangkan perjuangan emak tatkala harus membonceng bapak melewati jalan
menuju puskesmas, dan tentu, jalan yang belum diaspal seperti saat ini.
Drrrt, rrrt.
Drrrttt.
Asma terkesiap,
tersadar dari lamunannya yang panjang. Ia meraih handphonenya yang bergetar.
Pesan dari Kak Zahwa.
Pasti, sayang. Kk bilang ade adalah
berlian. Kenapa? Tajwid yang masih salah? Ditekuni, sayang. Kakak yakin ade
bias menyampirkan mahkota pada kepala emak. Doa kk dari sini.
Andai kau dekat di sini, Kak… Adik kangen
sama kakak, ah, kakak sibuk dengan keluarga disana.
Asma tertidur,
tidur dengan mimpi indahnya menghafalkan surat
cinta Robbuna.
***
“Nga.. ngaaa”
Asma mengambil nafas dalam-dalam, “ngaaa.. ngaa… ‘aalamiin, Bah?” Asma mencoba
melafadzkan ‘ain ketika ba’da shubuh yang dingin menggigil.
Abah tersenyum,
matanya berbinar kebanggaan.
“ ‘aalamiiin.
Benar, ya, Bah? Asma bias kan ,
Bah?”
Abah
mengangguk. Asma terlihat sumringah, wajahnya terpancar kelegaan yang teramat
sangat. Ia melihat mimpinya sangat dekat di pelupuk mata.
Selangkah lagi
aku bias menghafalkan surat
cinta-Mu, ya Robb.
“Iya, Nduk,
mulai menghafal, ya. Dimulai dari Al-Baqarah, kalau kuat satu hari satu
pojokan,” abah meletakkan Al-Qur’annya di dampar, uap terlihat keluar dari
mulutnya” kalau tidak, tiga hari satu pojo0kan. Yang penting setiap ba’da
sholat nderes.”
Asma mengangguk
bahagia. Matahari terbit dengan cahayanya yang merekah merah, mengiringi mimpi
Asma yang akan mewujud nyata.
-TAMAT-
Mustika Ungu
26 April 2012
Ya Robb,
lipat gandakan setiap keringat ibu dan bapak,
seperti benih
padi yang tumbuh beberapa batang,
yang setiap
batangnya tumbuh beratus bulir.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !