Aryani Milyarder Rawa Pening - Ambarawa OnLine
Headlines News :

Indahnya Kebersamaan

Media pemersatu warga Ambarawa lintas Politic, Ekonomi, Sosial, Budaya Pertahanan dan Keamanan.

Mutiara Bangsa

.

Popular Post

Pasarpon Ambarawa adalah pasar hewan terbesar dan terlengkap di Indonesia. Kunjungi www.pasarpon.com , Sudah dapat diakses Via Facebook.
Home » » Aryani Milyarder Rawa Pening

Aryani Milyarder Rawa Pening

Written By Faris Blog on Rabu, 29 Agustus 2012 | 17.00


Foto: Rini Sulistyati

Aryani (43), warga pinggiran Rawapening, Ambarawa, Kabupaten Semarang (Jateng) ini telah meniti perjalanan panjang menuju kehidupan mapannya. Awalnya, ia pemasok eceng gondok bagi para perajin di Jogja. Kini, ia sudah menjadi milyader berkat kegigihannya.

Sebelum jadi pengusaha kerajinan eceng gondok dan rotan, apa profesinya?
Saya ibu rumah tangga dengan tiga anak. Berhubung suami kerja serabutan tak jelas, saya pernah ikut kerja serabutan di Jakarta. Tapi, kami memuutuskan pulang ke Kulonprogo, kampung halaman suami. Di perjalanan menuju Jogja, saya lihat ada pria, yang belakangan diketahui namanya Pak Slamet, menjemur eceng gondok.
Saya jadi teringat eceng gondok yang banyak tumbuh di Rawapening, dekat rumah masa kecil saya. Lalu saya tawarkan ke Pak Slamet, saya mau jual eceng kepadanya. Ternyata dia bersedia beli. Kebetulan dia sedang ada pesanan kerajinan dari Bali dalam jumlah banyak. Berapa pun jumlah ecengnya, dia mau beli. Per kilo eceng kering jenis super harganya Rp 5 ribu. Itu terjadi 15 tahun lalu.

Anda mulai berburu eceng ke Rawapening?
Iya. Waktu itu warga di sekitar rawa belum tahu manfaat eceng, jadi begitu banyak eceng tak dimanfaatkan sampai menutupi rawa. Saya lalu minta nelayan dan warga di sana mengambil eceng yang batangnya panjang dan besar. Lalu akar dan daunnya dipotong, disisakan batangnya sekitar 50-70 cm untuk dijemur sampai kering.
Saya tanya ke mereka, per kilo mau dibayar berapa? Mereka minta Rp 1.000. Saya sanggupi. Setelah dapat 10 kilo eceng kering, saya bawa ke Jogja naik bus. Ongkosnya Rp 2.500. Saya masih untung karena per minggu bisa 5 kali setor eceng ke Pak Slamet. Hasilnya, bisa buat beli susu anak.

Sampai berapa lama mencari eceng?
Sekitar dua tahun. Ternyata perajin di Jogja jumlahnya ratusan. Pada perkembangannya, saya banyak menyetor bukan lagi eceng kering, melainkan eceng basah sampai 4 truk per hari. Saya mengupah warga Desa Siliran, dekat pantai di Kulonprogo untuk menjemurnya. Per truk Rp 125 ribu. Nah, saat menunggu eceng kering, saya belajar bikin tas dan aneka boks dari eceng ke para perajin yang saya setori eceng. Istilahnya, sambil menyelam minum air.

Berkat kegigihannya, Aryani telah berahsil menjadi pengusaha kerajinan eceng gondok di kotanya.
(Foto: Rini S)


Mengambil eceng dari Rawapening tak perlu pakai izin?
Oh, tidak perlu. Siapa butuh, asal ada tenaga, ya, tinggal ambil saja. Eceng akan tumbuh dan tumbuh lagi. Setelah 3 tahun orang-orang melihat keberhasilan saya jadi pemasok, banyak yang akhirnya ikut mengambil eceng sampai sekarang. Malah jadi makin banyak warga yang bisa menganyam eceng lalu dijual langsung ke perajin mebel.
Ada juga yang jadi perajin dan memasarkan eceng di Pasar Tiban, yang sekarang penjualnya berderet di sepanjang Jl. Fatmawati, Ambarawa, satu deret dengan rumah saya. Bagus lah, saya senang melihat kehidupan mereka jadi lebih baik dari sebelumnya.

Kok, bisa beralih dari pemasok ke perajin anyaman eceng?
Awalnya, banyak perajin di Jogja mengolok-olok saya, katanya, masak bahan bakunya dari Rawapening, kok, tak bisa mengolah sendiri. Saya jawab tantangan itu dengan membuat kerajinan yang sudah dipelajari sebelumnya. Jadi, ketika menunggu eceng dijemur, saya manfaatkan buat belajar gratis menganyam ke sejumlah perajin. Akhirnya, ya, bisa. Malah saya bisa melatih orang desa lalu menjualnya di rumah, dan laku.

Jadilah perajin mebel eceng dan rotan, ya?
Nah, suatu kali ketika saya sedang tak ada di rumah, ada perajin mebel asal Desa Transan, Sukoharjo datang. Lalu dia meninggalkan kartu nama dan menitipkannya ke mendiang ibu, sambil memesan eceng lawaran kering. Bulan berikutnya, dia minta eceng yang sudah dipilin. Lama-lama saya penasaran. Saya datangi dia ke Transan untuk melihat mebelnya.
Ternyata, satu kecamatan di Transan adalah perajin mebel. Saya lihat, kok, untungnya jual mebel eceng lebih besar dan cepat laku dibanding jual keranjang atau boks tisu buatan saya, yang harganya cuma Rp 15 ribu. Sementara jual mebel bisa meraup untung sampai Rp 500 ribu bahkan Rp 1 juta.

Beragam mebel dari anyaman eceng gondok desain Aryani yang laku dipasarkan,
baik di dalam maupun luar negeri. (Foto: Rini S)


Lalu?
Kebetulan, tagihan eceng ke pelanggan hari itu sudah menumpuk sampai Rp 12 juta dan belum terbayar. Pengusaha mebel lalu membayar hutangnya dengan mebelnya. Jadilah mebel itu saya pajang di rumah.
Baru sehari ditaruh, eh sudah ditawar dan dibeli orang. Harga yang seharusnya Rp 500 ribu, saya jual Rp 1 juta. Bahkan pembeli itu pesan lagi dua set. Per setnya saya tawarkan Rp 2 juta, dia mau saja. Karena belum bisa buat mebel, saya pesan ke pelanggan saya di Transan, dalam lima hari langsung jadi. Sejak itulah saya tergerak memproduksi mebel sendiri.

Caranya?
Saya mendatangkan tukang mebel dari Klaten, tapi saya desain sendiri modelnya. Lalu saya dapat eksportir asal Semarang yang sudah terbiasa memasarkan produk ke seluruh dunia. Kami ber-partner mulai 2000 hingga 2007. Tapi akhirnya saya minta kerjasama dihentikan karena ingin jualan langsung sendiri.
Alhamdulillah langsung dapat broker asal Semarang yang jualannya ke Prancis, juga ke Malaysia dan Australia. Hasilnya tentu lebih besar dari sebelumnya. Tapi jenis kerajinan seperti keranjang masih saya produksi. Biasanya, pesanan dari Prancis dalam setahun minta dua kali dikirimi keranjang eceng dan rotan, menjelang dan sesudah Natal.

Kini, Anda jadi milyarder. Bagaimana dengan suami?
Alhamdulillah, mungkin ini sudah rezeki saya. Sayang, nasib pernikahan saya buruk. Saya cerai dari suami, lalu menikah lagi. Ternyata nasib perkawinan kedua juga buruk setelah tambah satu anak. Saya cerai lagi. Mungkin ini sudah takdir. Kini, saya memilih hidup sendiri, menikmati jerih payah sendiri.

Sering jadi trainer dan keliling Indonesia juga?
Iya, jadi tutor saat ada bencana alam. Misalnya ke Aceh saat terjadi tsunami. Saya mengajari para korban bikin kerajinan, disponsori Truka Jaya. Kini, mereka sudah bisa bikin mebel dan mengekspor ke Malaysia. Pernah juga, pada 2004-2010 saya digandeng Dinas Transmigrasi Semarang. Tapi kalau saya tinggalkan bisnis terus, bisa kacau. Anak-anak juga belum bisa saya serahi tanggung jawab secara penuh. Hidup memang harus memilih, ya.

Rini Sulistyati
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Jalan baru (JB)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ambarawa OnLine - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya