Stres Berat, Minta Petunjuk Patung Gatot Subroto
Oleh: DAHLAN ISKAN, Pecinta Buku
Oleh: DAHLAN ISKAN, Pecinta Buku
Bagi yang penasaran mengapa SBY menunjuk T.B. Silalahi menjadi ketua
Dewan Pengawas Partai Demokrat yang lagi di puncak kesulitannya, bacalah
buku ini: TB SILALAHI (bercerita tentang pengalamannya). Jangankan
mengurai benang kusut yang ruwet, Pak Harto yang begitu berkuasa pun
berhasil TB (begitu dia akrab dipanggil) “tundukkan”.
============================
Dalam buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang sangat menarik,
lancar, dan mengalir oleh wartawan senior Atmadji Sumarkidjo ini,
berbagai kisah penundukan TB diceritakan: menundukkan Jenderal Rudini,
Jenderal Edy Sudradjat, dan banyak jenderal lainnya yang sebenarnya
adalah atasannya. TB juga berhasil menundukkan para analis perang,
berbagai universitas, para tokoh agama, dan yang hebat TB juga berhasil
menundukkan dirinya sendiri.
TB berhasil pula menundukkan wilayah-wilayah berat seperti Sulsel dan
Papua. TB yang Kristen Batak begitu berhasil merebut hati masyarakat di
dua provinsi itu. Sampai-sampai, saat TB diangkat menjadi menteri di
Kabinet Pembangunan VI, doa syukur bersama untuknya justru dilakukan
oleh jamaah masjid di Enrekang, Sulsel, sesaat setelah TB dilantik.
Bahkan, seorang gubernur Papua yang terkenal polos, Ishak Hindom, pernah
berani menyampaikan kepada Pak Harto bagaimana kalau Papua merdeka
saja: presidennya orang Papua asli dan perdana menterinya T.B. Silalahi!
TB memang brilian. Dia selalu lulus terbaik untuk jenis pendidikan
apa saja yang pernah dijalaninya selama menjadi tentara. Mulai AMN
sampai kursus-kursus yang begitu banyaknya. Termasuk saat mengikuti
Sekolah Komando dan Lemhanas. Bahkan, ketika Seslapa, TB lulus dengan
cum laude. Hanya sekali dia menjadi juara dua. Yakni, sewaktu menjalani
tes masuk Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Itu pun akhirnya dia
juga menjadi juara satu karena juara pertamanya rupanya ada masalah,
lalu dicoret.
Kalau ada yang dia sesalkan adalah mengapa ditakdirkan tidak pernah
mendapat kesempatan bersekolah di Amerika Serikat. Ini gara-gara
hubungan Indonesia-AS memburuk tahun itu yang diingat melalui ucapan
Presiden Soekarno: go to hell with your aid. Tapi, TB berusaha
menundukkan dirinya sendiri: Dia pinjam semua buku yang dibawa pulang
oleh perwira-perwira yang lebih dulu berkesempatan bersekolah militer di
AS. Dia lalap semua buku itu. Tanpa bersekolah ke AS pun, penguasaan
ilmunya bisa lebih unggul.
TB memang hobi membaca. Sebab, TB menyenangi tugas mengajar. Itu
sempat membuat komandannya kaget ketika dalam mengisi formulir
penempatan, TB memilih mengajar. Lulusan terbaik setiap jenjang
pendidikan selalu mendapat prioritas untuk memilih ditempatkan di mana.
TB memilih mengajar! Yang umumnya dijauhi perwira lain. Padahal, dia
perwira kavaleri yang tangguh. Yang sangat menonjol di berbagai operasi,
baik di Garut, Malangbong, Tasikmalaya (operasi penumpasan
Kartosuwirjo), maupun operasi di Sulsel (penumpasan Kahar Muzakkar).
Menarik membaca alasan TB: Saya sudah cukup di pasukan, lama-lama di
pasukan bisa bodoh! Maka, berangkatlah TB ke Pusat Pendidikan Kavaleri
di Purabaya. Satu daerah pegunungan kapur di Jabar yang jauh dari
Bandung. Sepanjang perjalanan ke kampus itu, TB harus melewati debu
kapur sehingga sang guru sering tiba di kampus sebagai kera putih
Hanoman.
Sebagai guru, TB tidak ada tandingannya. TB selalu terpilih sebagai
pengajar terfavorit di setiap pemilihan pengajar oleh para siswanya.
Tidak heran bila TB belakangan juga dikenal sebagai gurunya para
jenderal. Tidak ada jenderal yang pada masa pendidikannya tidak pernah
diajar dengan menarik oleh TB. Setidaknya, gelar itu diberikan Jenderal
Wiranto.
Saat itu, Wiranto menjadi ajudan Presiden Soeharto. Ketika Pak Harto
mulai tertarik dengan TB dan menanyakan siapa itu TB, Wiranto dengan
singkat mengatakan bahwa TB itu gurunya para jenderal. Wiranto-lah yang
selalu menjadi pintu bagi TB untuk bertemu Pak Harto. Belakangan, ketika
hubungan TB dan Pak Harto sudah istimewa, justru Wiranto yang minta
bantuan TB untuk memperlancar tugasnya sebagai ajudan presiden. Terutama
kalau mood Pak Harto lagi mendung. TB-lah yang mampu mencairkan pikiran
Pak Harto.
Itu ada ceritanya. Sewaktu TB harus menghadap Pak Harto menyampaikan
masalah yang sangat penting, Wiranto mencegahnya. Pak Harto lagi
bad-mood. Tapi, TB ngotot karena masalahnya memang penting. Di ruang
kerja Pak Harto itu, TB mencari akal bagaimana membuat Pak Harto tidak
lagi murung. Berceritalah TB mengenai kisah kehebatan Pak Harto yang
pernah dia dengar dari para jenderal yang pernah mendengarnya. Yakni,
mengenai pertempuran Ambarawa.
Waktu itu, Pak Harto diperintah Jenderal Gatot Subroto untuk
mempertahankan sebuah bukit yang penting. Pak Harto dan pasukannya tidak
boleh meninggalkan bukit itu sama sekali. Ketika malam Belanda
membombardir bukit itu habis-habisan, Jenderal Gatot Subroto menangis.
Dia mengira Pak Harto pasti sudah tewas. Demikian juga pasukannya.
Pagi itu, Gatot Subroto mengerahkan pasukan menyisir bukit tersebut
untuk mencari mayat Pak Harto. Ternyata, Pak Harto masih hidup.
Ternyata, Pak Harto, dengan perhitungannya sendiri, tidak menaati
perintah atasannya itu. Pak Harto, sebelum malam tiba, sudah
meninggalkan bukit tersebut.
Senjata TB itu sangat ampuh. Baru sebentar TB berkisah, Pak Harto
sudah menimpali. Bahkan, Pak Harto-lah yang kemudian meneruskan kisah
itu dengan semangatnya. Wiranto yang mendengarkan dari ruang sebelah
merasa gembira. Maka, setiap melihat Pak Harto bad mood, Wiranto minta
agar TB berpura-pura punya urusan dengan Pak Harto.
Hebatnya, TB menyadari, menjadi anak emas itu banyak tidak enaknya.
Dan dia belajar banyak dari situ. Waktu Rudini diangkat menjadi KSAD, TB
yang masih paban diminta menjadi orang nomor dua untuk menghadap.
Padahal, mestinya para asisten dulu. Itu menimbulkan kecemburuan yang
merugikan dirinya. Apalagi ketika akhirnya tahu TB-lah yang diminta
membuatkan konsep tujuh perintah harian KSAD yang baru.
TB juga pernah menjadi anak emas Jenderal M. Jusuf. Mulanya dari
kunjungan Menhankam/Pangab asli Makassar itu ke Makassar setelah
meredanya kerusuhan anti-Tionghoa di sana. Jenderal Jusuf begitu
senangnya kerusuhan tersebut berhasil diselesaikan dengan cepat. Karena
itu, saat itu juga, di tempat rapat itu juga, Jenderal Jusuf minta
pangkat Pangdam Hasanuddin Brigjen Soegiarto dinaikkan menjadi mayor
jenderal.
Setelah itu, sang Pangdam dengan rendah hati mengemukakan bahwa
kerusuhan tersebut cepat teratasi berkat peran asisten operasinya,
Letkol T.B. Silalahi. Kebetulan, pangkat TB itu sudah agak lama
tersendat. Mendengar itu, Jenderal Jusuf langsung mengeluarkan perintah
yang mengagetkan: Ya sudah, naikkan pangkat Silalahi hari ini juga!
KSAD saat itu, Letjen Poniman, menjelaskan bahwa kenaikan pangkat
tidak bisa dilakukan mendadak di tempat seperti itu. Setidaknya, harus
dibuatkan dulu surat keputusannya di Jakarta. Setidaknya, harus
dicarikan dulu nomor surat keputusan yang akan dibuat. Apa jawaban
Jenderal Jusuf” “Tidak usah lah kau cari-cari nomornya. Kalau perlu,
pakai nomor mobil saya,” perintah sang Jenderal.
Tentu tidak ada yang berani membantah perintah panglima ABRI. Tapi,
ada kesulitan teknis untuk menaikkan pangkat TB saat itu juga. Dari mana
bisa mendapatkan tanda pangkat kolonel di kota seperti Makassar yang
akan disematkan di pundak TB” Sudah diusahakan dicarikan di toko-toko
dan di pasar loak, tapi tidak ditemukan. Akhirnya, memang bisa didapat.
Tapi, tanda pangkat itu sudah sangat kusam. Cepat-cepat tanda pangkat
itu di-brasso untuk disematkan di pundak TB.
Kelak, peristiwa tersebut menyulitkan karir TB. Terutama setelah
panglima ABRI-nya diganti. TB dikira “geng”-nya Jenderal Jusuf. Karirnya
terhenti sangat-sangat lama dan penempatannya pun tidak di pusat
kekuasaan. TB sempat frustrasi lagi. Sampai-sampai, saat berjalan pagi
dengan istrinya di kompleks Seskoad Bandung, TB mengambil sikap yang
dianggap istrinya sangat aneh. Ketika melewati patung Jenderal Gatot
Subroto, TB berhenti: menghadap patung, memberi hormat militer dengan
sikap sempurna, dan meneriakkan kata-kata berikut ini: “Pak Gatot, saya
ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan
Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk?!” (hal 22).
“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.
Sangat menarik membaca bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya
sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat
letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri.
Kelihatannya buku ini berisi cerita tentang TB. Tapi, pada dasarnya,
inilah buku tentang tokoh-tokoh militer Indonesia. Lengkap dengan sikap,
karakter, dan pola kepemimpinan mereka. Hampir di semua bab TB
bercerita tentang pertemuannya dengan tokoh militer.
Mulai Try Sutrisno sampai SBY. Masing-masing lengkap dengan gambaran
gaya dan sikap kepemimpinan mereka. Semua itu menggambarkan bahwa faktor
kepemimpinan sangat memengaruhi jalannya sejarah. Termasuk sejarah
militer. TB, dengan keseniorannya, bercerita tentang tokoh-tokoh
tersebut seperti tidak sungkan, tanpa beban dan tidak perlu
menutup-nutupinya.
Sekarang ini, pada usianya yang sudah 72 tahun tapi masih gesit
seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali
ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB
tidak bisa membawa tank kavaleri. (*)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !